Sabtu, Juli 11, 2009

Ruang Publik dan Tata Kota Kebayoran Baru Kota Taman Kebayoran Baru ; Lunturnya Identitas Masa Lalu

Oleh Erick Rinaldo


Jakarta kian hari terasa semakin gerah dan sesak. Kita seperti terbelenggu dalam sebuah kotak besi yang sempit dan padat, kemudian berpijak di atas nyala api unggun yang panas dan membara. Sebuah analogi yang sekiranya bisa mengungkapkan tentang keberadaan Ibukota yang sudah semakin sempit dan sesak oleh serbuan orang-orang yang hidup dan mencari makan disana. Ada yang tinggal di balik kemewahan rumah bergaya klasik di kawasan elit Jakarta, namun ironisnya lebih banyak lagi yang tinggal di gubuk ringkih berdinding kardus di bawah kolong jembatan. Inilah realita Jakarta saat ini. Kepadatan kota, tak saja memicu terjadinya kesenjangan sosial seperti yang dijelaskan di atas. Implikasinya juga mempengaruhi eksistensi lingkungan. Kebutuhan akan tersedianya lahan terbangun yang sangat tinggi akhirnya harus mengorbankan ruang terbuka hijau yang seyogyanya menjadi ruang publik dan paru-paru kota.

Perjalanan untuk mencari sedikit ruang hijau di tengah tandusnya Ibukota dimulai dari kawasan Bulungan Jakarta Selatan. Ternyata, bayangan akan Jakarta yang hiruk pikuk dengan lalu lintas kendaraan silih berganti dan kota yang kehilangan ruang hijau seakan terhapus sedikit demi sedikit. Setiap menelusuri sebuah jalan dan berbelok dan memutar, pasti akan melihat keberadaan pohon besar berumur puluhan tahun di sisi kiri kanan jalan, begitu pula dengan lahan hijau yang cukup asri, ada yang terawat dengan baik namun tak sedikit pula yang terbengkalai. Terlepas dari keadaannya yang terawat atau tidak, mengundang pemikiran saya untuk mengetahui bagaimana kawasan Kebayoran Baru itu dirancang dan direncanakan oleh perancang tata kotanya di masa lalu.

Kebayoran Baru di Masa Lalu


"Kesan pertama, apabila kita melawat dengan pesawat terbang dari
Ibukota Indonesia ke arah Selatan-Baratdaja, maka nampak oleh kita
suatu dataran indah Kotabaru Kebajoran dengan kelompokan pentju-
pentju atap perumahan serta gedung-gedung jang teratur rapi dan
lintasan djaring-djaring djalanan yang indah menghias. Kesemuanja ini
bagaikan djauhar manikam berkilau mesra di tengah luas padang hidjau dari wilajah Djakarta Raja".


Dikutip dari bagian "Pengantar Kata" buku Pembangunan Kotabaru Kebajoran. Terbitan Kementerian Pekerdjaan Umum dan Tenaga Republik Indonesia (1953)



Sejarah Kebayoran Baru dimulai pada tahun 1948 setelah Jakarta tepatnya di sekitar Weltevreden (sekarang Gambir) mengalami masalah kekurangan infrastruktur perumahan sebanyak 25.000 unit. Setidaknya pada 1952 diperkirakan sekitar 2,5 juta jiwa akan bermukim di Jakarta.
Kebutuhan akan lahan hunian yang lebih luas ini ditanggapi oleh Centrale Huisvestingsraad (Dewan Perumahan Pusat) pada 21 September 1948, dengan memilih daerah seluas 730 hektar di sebelah selatan Jakarta, sebelah timur desa Kebajoran sebagai tempat dibangunnya kota baru penyangga Jakarta masa itu. Kelebihan daerah ini adalah pada masa itu masih lengang, namun mempunyai infrastruktur yang cukup baik. Rencana pembangunan dan rancangan kota disusun oleh praktijk ingenieur H. Moh Soesilo dari Centrale Planologisch Bureau. Peletakan batu pertama pada 8 Maret 1949 dan dirmapungkan enam tahun kemudian, tahun 1955.

Kota Satelit Kebajoran, itulah nama yang kemudian melekat dan menjadi identitas kawasan tersebut. Terlepas dari ketidaktepatan penggunaan kata “Satelit” terhadap kawasan yang hanya berjarak 8 km dari kota pusat tersebut, akan tetapi esensi dari kota Kebayoran Baru adalah pengembangan tata kota berbasis taman. Pengembangan Kebajoran Baru sebagai kota taman memenuhi konsep kota taman seperti yang pernah dicetuskan oleh Ebenezer Howard dalam bukunya, The City of Tomorrow (1902). Dimana pengembangan kota berlandaskan pada tiga prinsip utama yaitu pemerintah sebagai pemilik dan pengendali lahan; kecermatan dalam desain tata kota; serta pertumbuhan fisik kota yang dibatasi oleh jalur hijau yang permanen. Kebayoran Baru Jalur utamanya membelah dari utara ke selatan (Jalan Sisingamangaraja, Panglima Polim, dan Iskandarsyah) dan membujur dari timur ke barat (Jalan Wolter Monginsidi, Trunojoyo, dan Kyai Maja). Melingkar sepanjang Jalan Senopati, Suryo, Wijaya, Prapanca, sampai Blok A. Dari Blok A tersambung dengan Jalan Gandaria, Paku Buwono, Hang Tuah, dan bertemu kembali dengan ujung Jalan Senopati dan Jalan Sudirman di Bunderan Senayan.

Pengembangan kawasan Kebayoran Baru menjadi kota taman telah disesuaikan dengan iklim tropis Indonesia. Selain itu, peruntukan lahan dan ketegasan pembagian jalan berdasarkan tingkatan dan ukurannyanya membuat kawasan Kebayoran Baru memiliki karakter yang kuat dibandingkan kawasan lainnya di sekitar Ibukota. Oleh karena eksistensinya sebagai kota taman, tak kurang dari 40 persen dari luas Kebayoran Baru merupakan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Walaupun nyatanya pada masa sekarang ini angka tersebut mungkin sudah mengalami penyusutan yang cukup berarti. Tidak hanya penyusutan secara kuantitasnya saja, akan tetapi penyusutan dari segi kualitas, baik penataan maupun perawatan dari pemerintah maupun publik.

Photobucket


Taman Kota sebagai Ruang Publik

Pengembangan kota berbasis taman, berimplikasi terhadap keberadaan taman itu sendiri sebagai ruang publik dengan konsep taman-taman penghubung yang tersebar sistematis, terencana, dan saling berhubungan tak terputus disesuaikan dengan peruntukan hunian. Dimana masyarakat bisa berkegiatan dan melakukan berbagai kegiatan disana. Adapun ruang publik di kawasan Kebayoran Baru yaitu Taman kota (Taman Ayudia, Taman Puring, Taman Patung Tumbuh Kembang, Taman Langsat, Taman Leuser, Taman Barito, Taman Christina Marta-Tiahahu, Taman PKK), taman pemakaman umum (TPU Blok P yang sudah digusur, TPU Kramat Pela), lapangan olahraga (Blok S yang bersejarah, Al Azhar), jalur hijau jalan raya, dan bantaran sungai saling menyatu dengan didominasi deretan pohon besar berusia puluhan tahun.

Sistem RTH itu terstruktur dengan fungsinya masing-masing, yakni taman/kebun rumah, taman lingkungan,
taman kota, lapangan olahraga, dan taman makam. Juga ada daerah tangkapan air seperti situ atau danau. Jalur untuk pedestrian dirancang demi kenyamanan. Begitu juga kawasan pengolahan limbah dan tempat pengolahan sampah. Kekayaan arsitektur seperti beraneka ragam rumah dengan ukuran dan gaya yang khas, berbagai bangunan ibadah seperti : Masjid Al Azhar, Masjid At Taqwa, , Gereja Pantekosta, Gereja Santo Yohanes, Gereja Santa Perawan Maria serta tak ketinggalan kediaman (alm) Ibu Fatmawati di Jl Sriwijaya 26 yang sangat bersejarah terdapat dsini. Serta berbagai pusat-pusat perniagaan, seperti Pasar (tradisional) Santa, Pasar Blok A dengan menara airnya yang menjadi landmark, Pasar Mayestik, dan Blok M, serta kios-kios bunga, buah, dan burung yang berada di sekitar Jl Barito. Memang bukan hal yang mudah untuk tetap mempertahankan dan merawat kekayaan masa lalu tersebut, tapi merupakan kewajiban untuk terus melestarikannya.

Saat ini, berbagai penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukkan sebenarnya membuat kawasan Kebayoran Baru seperti mulai kehilangan identitas dan karakteristik. Keberadaan arsitektur yang ada di kawasan ini sebenarnya turut memberikan sejarah terhadap perkebangan dan eksistensi kota taman ini. Kapling yang dulu berderet dari Blok A sampai Blok S dan saling terhubung dengan taman tamannya sekarang sudah diisi dengan bangunan baru yang seakan menghilangkan keserasian arsitektur disana. Padahal karakteristik tata kota dan arsitektur Kebayoran Baru merupakan sebuah warisan kekayaan dari perkembangan arsitektur di Indonesia khususnya Jakarta.

Taman Langsat, Tak Terawat

Taman Langsat adalah satu dari puluhan taman yang sampai sekarang masih menjadi bagian dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kawasan Kebayoran Baru. Taman dengan luas sekitar 13.000 m2 (terbesar) ini dihuni oleh ratusan pepohonan besar dari berbagai jenis yang memberikan penghawaan alami di tengah teriknya Ibukota. Keberadaan taman ini pun juga seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai ruang publik tempat lahirnya interaksi warga maupun pengunjung yang datang ke sana sekedar untuk melepas lelah dari kepenatan rutinitasnya.



Ironisnya, taman yang di dalamnya juga mengalir sebuah sungai kecil bernama Sungai Jelawe ini sekarang tampak sudah tak terawat dengan baik lagi. Sungguh kondisi yang sangat berlawanan dengan keberadaan Taman Ayodya yang baru diresmikan beberapa bulan lalu. Air sungai yang sangat kotor dan bau, banyaknya sampah yang bertebaran, tanaman yang sudah mulai menyemak membuat orang tak terlalu betah berada di taman ini. Hampir tak ada orang yang berlalu lalang di sekitar taman tersebut ketika kami datang mengunjungi taman tersebut. Sehingga fungi taman hanya hadir sebagai fungsi ekologis (daerah hijau dan resapan), sedangkan fungsi sosialnya mulai menghilang.

Pemerintah seharusnya bisa lebih cepat menanggapi keberadaan Taman Langsat ini sebagai sebuah ruang publik yang sebenarnya menjadi bagian dari Identitas Kebayoran Baru sebagai kota Taman. Paling tidak, pemerintah harus melakukan perbaikan kualitas taman ini sehingga masih layak dijadikan sebagai ruang publik. Sebagai salah satu dari beberapa taman yang masih tersisa di Kebayoran Baru, jangan sampai keberadaan taman yang kurang terawat ini menjadikan alasan bagi para pebisnis negeri ini untuk menyulap ruang publik yang memiliki fungsi ekologis ini menjadi fungsi ekonomis dengan mentransformasikannya menjadi bangunan komersil . Banyaknya taman yang dialihfungsikan, atau dikurangi jumlahnya hanya akan mengurangi dan merusak citra Kebayoran Baru sebagai kota taman yang teah dirintis oleh pendahulu kita dulu.

Hal yang paling penting dilakukan sekarang adalah mempertahankan citra Kebayoran baru sebagai kota taman. Masih ada waktu untuk terus membenahi Taman Langsat dan mungkin taman taman lainnya sebagai bagian tak terpisahkan dari eksistensi kota Taman Kebayoran Baru. Sehingga kalimat dari kutipan buku Pengantar Pembangunan Kebayoran Baru tahun 1953 yaitu “ Kebayoran Baru bagaikan djauhar manikam berkilau mesra di tengah luas padang hidjau dari wilajah Djakarta Raja" adalah hal yang masih bisa kita rasakan saat ini dan hingga anak cucu kita kelak.


Sumber: Agus Hamonangan; mediacare.blogspot.com
Nirwono Joga, Kebayoran Baru Kota Taman Pertama Karya Arsitek Lokal ; Harian Kompas; , Jumat, 06 Agustus 2004
" Kata Pengantar " buku Pembangunan Kotabaru Kebajoran. Terbitan Kementerian Pekerdjaan Umum dan Tenaga Republik Indonesia (1953)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar