Selasa, November 03, 2009

Rel Kereta ; Sisi Lain Ruang Kota

Oleh Erick Rinaldo

Berjalan menyusuri rel layang kereta di sekitar Stasiun Cikini menuju Manggarai mengantarkan saya untuk melihat sisi lain Ibukota yang tidak pernah saya rasakan selama ini. Sepanjang perjalanan di bawah rel, terdengar deru dan getar KRL yang lalu lalang Bogor dan Jakarta. Tak jarang saya dan teman-teman saat itu terkaget-kaget mendengar rintihan mesin KRL, tapi bagi orang yang tinggal di sana itu adalah hal biasa, dan tak ada pengaruhnya.


Tanah kosong di bawah rel layang, ditutupi pagar seng oleh PT KAI, si empunya tanah. Dalam kajian arsitektur sering disebut sebagai ruang negatif. Tapi tidak bagi beberapa kalangan orang. Ketika saya menyusuri sekitar rel layang Cikini,mata saya tertuju pada beberapa titik. Titik pertama ada di sekitar jalan Panataran. Ada akses masuk menerobos dinding pembatas tersebut. Bersama teman saya beranikan masuk. Tak disangka, ternyata di dalamnya terdapat ratusan ekor burung dara yang sedang diternakkan oleh peternaknya. Terlihat seperti pasar burung dimana orang ramai berkumpul dan menyaksikan burung dara disana Sedangkan di sekitarnya diisi oleh rerumputan serta semak-semak yang tak terurus.



Ketika saya bertanya kepada si peternak tersebut tentang izin penggunaan lahan, mereka hanya menjawab dangan santainya, “Daripada tidak dipakai, lebih baik dimanfaatkan untuk hal seperti ini, toh?” Memang sebenarnya apa yang dilakukan mereka tidak menyebabkan gangguan atau kerusakan fisik pada penggunaan rel kereta sebagai jalur transportasi. Tapi, apakah pemanfaatan seperti itu telah mengikuti aturan daerah tentang penataan kota dan kawasan???

Saya terus menjelajahi daerah di bawah rel menuju arah taman proklamasi. Wajah ruang kota yang sama masih saya rasakan. Ruang kosong yang tak terurus oleh PT. KAI dihuni dan dimanfaatkan ilegal oleh sekelompok pemulung. Disana mereka mengumpulkan hasil pulungannya dan mengklasifikasikannya sesuai kriteria tertentu. Walaupun sering ditertibkan, tapi mereka bagai jamur yang tumbuh di musim hujan, semakin subur dan subur. Ketika saya tanyakan kenapa mereka tidak jera untuk tinggal disana. Mereka menjawab bahwa daerah sekitar cikini sangat potensial bagi pekerjaan mereka sebagai pemulung.

Bergerak semakin dekat dengan jalan proklamasi, terlihat beberapa hal yang kontras. Ternyata ada beberapa kios yang perizinannya sudah legal. Bentuknya sudah rapi, dan terurus. Memang pihak KAI membuka beberapa kios disekitar akses proklamasi ke kampung Anyer. Disana deretan kios makanan yang cukup banyak, dan cukup diminati oleh pekerja kantor di sekitar proklamasi.
Tapi, pada awal November 2009 nanti PT KAI akan merelokasi pedagang tersebut ke pinggiran rel layang, alasannya untuk kepentingan keamanan dan perawatan rel layang Cikini. Tak tanggung-tanggung pedagang tersebut harus mengeluarkan uang sekitar 90 juta untuk dapat menggunakan kios tersebut dalam jangka waktu yang ditetapkan KAI. Melihat hal ini, saya menjadi bingung dengan keputusan KAI yang dianggap plin-plan. Dulu membiarkan mereka berjualan secara legal di bawah rel dan memungut sewa. Lalu sekarang direlokasi dalam bentuk pemaksaan yang semu. Walaupun sebenarnya penggunaan lahan di bawah rel kereta tersebut sudah diatur sesuai UU.

Bergerak ke arah Jl Bonang hingga sampai ke turunan transisi rel layang-rel tanah saya cukup shock. Ruang dibawah turunan tersebut di huni oleh beberapa pemulung sebagai ruang tinggal. Miris melihatnya, ruang yang tingginya sekitar 100 meter(bahkan untuk berdiri sampurna saja susah) harus dijadikan sebagai ruang hidup.
Saya teringat dengan mata kuliah Perancangan Arsitektur 1 yang mengajarkan saya memahami ruang gerak manusia. Sama sekali tak sesuai denga apa yang saya lihat. Apakah mereka merasakan nyaman? Apakah itu arti definisi ruang dalam hidup mereka?Sudahkah mereka menikmati arsitektur? Atau sudahkah arsitektur melayani mereka? Sehingga mereka harus mereproduksi ruang kota.

Memahami hal ini memang tidak bisa dilihat dari sisi arsitektur saja, melainkan disiplin ilmu lainnya seperti sosiologi, ekonomi, antropologi dan psikologi. Sebagai perancang kita dituntut mampu memberikan intervensi kepada manusia dan lingkungannya. Berpikir secara objektif terhadap ruang dan penggunaannya. Pelaksanaan peraturan kota mesti dikaji kembali efisiensi dan pelaksanaanya. Lebih daripada itu, kesadaran akan pentingnya menjaga ruang kota perlu ditingkatkan, karena semua berasal dari individu itu sendiri. Sehingga kota kita ke depan tidak lagi menjadi potret buram serta terus tereproduksi ke arah negatif.

Rabu, Juli 29, 2009

KISHO KUROKAWA DAN METABOLISM ARCHITECTURE

oleh Erick Rinaldo


We regard human society as a vital process, a continious development from atom to nebula. The reason why we use the biological word metabolism is that we believe design and technology should be denote human vitality. (Metabolism 1960 ; a Proposal for a New Urbanism)


Kutipan di atas merupakan sebuah kata kunci yang dicetuskan oleh sekelompok arsitek asal Jepang ( Kiyonori Kikutake, Masato Ohtaka, Fumihiko Maki, Kisho Kurokawa dan kritikus arsitektur Noboru Kawazoe) pada deklarasi konferensi desain dunia pada tahun 1960 di Jepang. Menjadi menarik ketika adanya penggunaan kata metabolism pada pernyataan yang mereka lontarkan. Berhubung mereka adalah sekelompok arsitek, maka sepertinya hal yang kurang berkorelasi ketika membandingkannya dengan kata metabolism yang sering kita temui ketika mempelajari pelajaran biologi atau sebagainya. Seperti yang kita ketahui, metabolisme dalam ilmu biologi ialah suatu reaksi kimia makhluk hidup yang berlangsung secara berkelanjutan dalam kehidupan makhluk hidup dalam mentransformasikan energi yang didapat untuk dimanfaatkan dalam proses reproduksi, pertumbuhan, pendewasaannya dan menjaga identitas.

Dalam korelasinya dengan dunia arsitektur yang mereka geluti, ternyata alasan penggunaan kata “metabolisme” tersebut disebabkan oleh keyakinan mereka terhadap keberadaan desain dan teknologi harus menunjukkan vitalitas manusia. Ketidakyakinan mereka terhadap indikasi metabolisme hanya dapat diterima oleh alam dan proses sejarah, memicu mereka untuk aktif melakukan eksplorasi isu dari proposal mereka tersebut untuk dilemparkan dan diwacanakan kepada masyarakat.

Pernyataan di atas kemudian menjadi begitu bermakna karena mencerminkan perasaan mereka bahwa masyarakat manusia harus dipandang sebagai satu bagian dari entitas di alam dan keberadaan teknologi sebagai sebuah tambahan atas perikehidupan manusia. Kepercayaan ini sejalan dengan kepercayaan barat bahwa modernisasi adalah sebuah repetisi dari sebuah konflik antara teknologi dan umat manusia.

Berangkat dari hal tersebut di atas, para metabolis kemudian mengabstraksikannya menjadi Teori Siklus Metabolisme, yang merupakan program untuk menata ulang arsitektur dengan cara memisahkan ruang lingkup urban. Kurokawa sendiri berpendapat bahwa ideologi yang mendasari pemikiran arsitektur tentang form lebih banyak mendasari pemikiran Barat, bukan Timur. Selain itu, menurutnya ruang dan bentuk itu lahir dari suatu hal yang bersifat individu ( dalam konteks ini Asia Individuum ). Terminologi “form” sendiri hanya merupakan kaidah dan prinsip arsitektural yang dapat berubah seiring perkembangan waktu, memiliki kemampuan untuk ditempatkan kembali dan mengalami kemampuan untuk ditata ulang. Sehingga ruang, bentuk, dan arsitektur yang mereka tawarkan juga tidak bersifat kekal, tetapi dapat terus mengalami perubahan. Keterbatasan tanah serta harganya yang mahal juga dipertimbangkan dengan cara menetapkan bagian ruang yang harus dilindungi dan tidak berubah bagi tersedianya tempat untuk manusia hidup dan menjalani berbagai kegiatannya.

Kurokawa dan grup menolak untuk menjadikan pemikiran mereka sebagai basis terbentuknya gaya baru. Pemikiran mereka bersifat teoritis dan filosofis semata, sedangkan form dan style terjadi akibat unsur sejarah, ruang,waktu, material, keadaan sosial, kondisi geografi , dan kadang – kadang murni dari kondisi seseorang.
Para penggagas metabolis dan Kurokawa mempunyai pemikiran bahwa arsitektur seharusnya adalah hasil buah pikiran oleh masyarakatnya sendiri, sehingga terciptalah interaksi yang kuat antara sosial masyarakat dan arsitekturnya sendiri. Secara konkrit, Kurokawa mengajukan sebuah gagasan akan perancangan yang memanfaatkan teknologi prefabrikasi untuk hunian apartemen. Caranya dengan membaginya menjadi unit terkecil fungsi dan kegiatan yang penting seperti ruang tidur sehingga ditambahkan dari luar untuk kebutuhan servis. Kurokawa menyebut elemen ini sebagai unit kapsul ruang atau Capsule Space. Gagasan seperti ini akhirnya diharapkan bisa menjadi produk yang dihasilkan secara massal dengan melibatkan industri dan teknologi, dengan menonjolkan manusia melalui karakter individunya. Untuk merealisasikannya,Kurokawa kemudian memikirkan untuk mempopulerkan gagasan tersebut agar pihak industrialisasi dapat ikut berpartisipasi (Capsulisation). Proses berpikir seperti ini sejalan dengan ide yang pernah dilontarkan Le Corbusier pada masanya.


Seperti yang pernah disampaikan Mies van der Rohe , bila form dijadikan tujuan dalam mendesain maka ia hanya berakhir pada formalitas semata. Sejatinya form di dalam arsitektur harus diinterpretasikan sebagai sebuah proses penjelajahan kehadiran. Kurokawa dengan konsep Capsule Space sebagai upayanya dalam mendesain konsep rumah kapsul, dimana para individu Jepang yang sangat sibuk bekerja hanya memanfaatkannya sebagai tempat untuk tidur, dan itu benar – benar menyerupai kapsul.

Keterwujudan konsep apartemen Capsule Space ini tampak terlalu individualis, dan kontradiktif dengan konsep komunitas yang mereka pikirkan. Keberadaan komunitas didefinisikan sebagai kumpulan dari berbagai varian populasi (dalam konteks ini manusia dan lingkungan). Gagasan ruang kapsul yang diperuntukan untuk hunian, maka kapsul sebagai unit terkecil interaksi kurang dapat diterima. Karena justru individu akan terkungkung dalam spacenya sendiri dan bisa memudarkannya dari interaksi yang ada dalam komunitas kehidupan sosial. Langkah yang diambil Kurokawa untuk membuat ruang terbuka untuk interaksi sosial patut dihargai namun efektifitasnya masih harus dipertanyakan, karena kesibukan dari individu di Jepang mencapai angka yang cukup tinggi.

Tetapi Kurokawa dan arsitek metabolis lainnya telah menggarisbawahi bahwa pemikiran mereka bersifat filosofis semata yang dalam pengaplikasiaanya memerlukan pengujian. Benang merah dari pemikiran ini adalah penemuan konsep tentang kaidah dasar arsitektur itu dengan pencarian makna form dari kacamata ketimuran khususnya Jepang. Slogan “ design is form-making in order” (Louis Khan) merancang adalah tugas untuk membuat bentuk berkaitan dengan unsur proses, pemikiran, teoritis, uji coba sehingga menghasilkan wujud 3 dimensionalnya, begitu pulalah yang coba diungkap oleh Kurokawa dan grup.

Tahun 1960, saat pertumbuhan ekonomi meningkat, kelompok Metabolisme menfasilitasi pembentukan hubungan baru antara manusia dan teknologi. Pemikiran tentang teknologi dikembangkan secara mandiri menuju pada titik yang mengatur hidup manusia. Kelompok ini memiliki maksud untuk menghasilkan suatu sistem yang membuat manusia akan menjaga kontrol atas teknologi. Perkembangan teknologi di Jepang menjadi lebih dinamis dan pesat. Dasar pertimbangannya adalah efisiensi ekonomi dan profit. Mereka mendukung penerapan teori lingkungan ‘metabolisme’ sebagai cara untuk menghindari kondisi tersebut. Teori ini menawarkan suatu pengaturan ulang untuk membagi arsitektur dan ruang kota pada tataran lanjut dari yang global ke yang mengkhusus dan yang bisa memudahkan manusia untuk mengontrol lingkungannya.


Dengan mendiferensiasikan antara bangunan yang tidak boleh dirubah dan bagian yang harus dipertahankan, maka ada probabilitas bahwa bagian-bagian tersebut mesti berganti secara periodik. Perencanaan kelompok ini pada sebuah apartemen prefabrikasi, mereka memikirkan suatu cara merakit sejumlah elemen dasar seperti membuat ruang besar misalnya ruang tidur dan ruang tamu. Unit-unit kapsul dipasang diluar sebagai fungsi bangunan tingkat rendah terdiri dari dapur dan unit servis.
Penataan ulang arsitektur seperti ini memfasilitasi ekspresi individual dan karakter ruang individual. Berarti juga telah menyokong keterbanguanan arti dari benda seutuhnya, tidak seperti yang terjadi pada kasus bangunan bergaya modern yang mematikan fungsi dan nilai kebendaan. Prinsip bahwa arsitektur berdasarkan waktu, prinsip ketergantian, keterubahan global serta prinsip lingkungan metabolisme hanya berlangsung sebentar saja.

Akhinya, adalah hal yang bermakna ketika kita mengeksplorasi keberadaan sejarah arsitektur masa lalu. Dengan menelaah unsur-unsur filosofi yang melatar belakanginya, dengan adanya inter-kultur yang mempunyai tujuan sangat penting dan merupakan bagian dari sejarah dan falsafah arsitektur. Seperti apa yang telah ditekankan oleh Kisho Kurokawa dalam Rediscovering Japanese Space, bahwa ada dua jalan pemikiran mengenai sejarah dan tradisi. Pertama, adalah sejarah yang dapat kita lihat seperti, bentuk arsitektur, elemen dekorasi, dan simbol-simbol yang telah datang pada kita. Kemudian yang kedua, adalah sejarah yang tidak dapat kita lihat seperti, sikap, ide-ide, filosofi, agama, keindahan, dan pola kehidupan. Itulah kemudian yang menjadi referensi bagi kita untuk terus mengembangkan berbagai filosofi sehingga mengasah dan menambah kemampuan kita dalam khazanah dunia perancangan khususnya arsitektur.


Kepustakaan :
William, Sarah, Rejean Legault.2000. Anxious Modernism. Canada : Canadian Centre for Architecture
Sennot, R Stephen. 2004. Encyclopedia of 20th Century Architecture . New York, London : Fitzroy Dearborn
Kurokawa, Kisho. 1997. Theories and Manifestoes of Contemporary Arhitecture. Japan : National Book Network
Steel, James. Architecture Today (page 432-464)
Encyclopedia Britanica (electronic source)

Minggu, Juli 26, 2009

The Crystal Palace; Pelopor Bangunan Baja dan Kaca

Oleh Erick Rinaldo

Revolusi Industri di Inggris pada awal abad 19 telah membawa berbagai perubahan dan dampak yang besar terhadap perkembangan di berbagai bidang. Dunia arsitektur pun tidak ikut ketinggalan terkena imbas dari revolusi industri di Inggris. Dengan penemuan material baru, sistem pabrikasi, dan metode baru maka mendorong para arsitek di zaman tersebut untuk bereksplorasi secara lebih mendalam.

The Crystal Palace, salah satu bangunan rancangan Sir Joseph Paxton yang didirikan di Inggris pada 1861 menjadi simbol kebesaran dan kegagahan Inggris pada masa tersebut. The Crystal Palace dibangun untuk menampung acara pameran yang mengundang 13.000 peserta pameran serta tak kurang dari 6.200.000 orang pengunjung. Pameran itu sendiri menampilkan barang-barang hasil industri serta perlambang kebesaran industri Inggris, kekuatan produksi, kekayaan serta pengetahuan keteknikannya. Sebegitu besarnya pameran ini maka tentunya The Crystal Palace telah dirancang dengan dimensi yang cukup besar.

Sebagai bangunan yang merupakan rancangan pertama di dunia yang menggunakan sistem pabrikasi, bangunan ini berukuran 563x124 m dan menaungi ruang seluas 70.000 m2. Unsur pembangunnya didominasi oleh unsur kaca dan baja. Setidaknya terdapat 3300 tiang, 2.224 balok-balo baja, 300.000 lempeng segi empat kaca dan 205.000 bingkai kayu untuk memasang kaca.

Pada awalnya The Royal Commission yang dipimpin oleh Prince Albert memberikan sayembara untuk membuat gedung pameran. Sebanyak 240 peserta ikut serta dalam sayembara tersebut. Akan tetapi, tidak ada satupun yang terpilih. Akan tetapi, yang terpilih adalah desain yang dibuat oleh commission itu sendiri. Bangunan tersebut direncanakan akan dibangun dengan bata, kubah baja gelap,berat dan permanen. Akan tetapi muncul pemikiran bahwa dengan struktur seperti itu akan membuat gedung tersebut suram, gelap dan tidak menarik.

Jhon Paxton sendiri kemudian menawarkan desainnya yang diselesaikannya hanya dalam 10 hari. Setelah desainnya disetujui maka Fox Henderson & Co melakukan kalkulasi dan diperkirakan bahwa pembangunan ini akan memakan biaya sekitar £79,800-£150,000.
Desain Paxton kemudian dipublikasikan di koran-koran dan ternyata anggaran yang dibutuhkan lebih sedikit, lebih cepat, bisa dirakit, tidak ada penggunaan batu, terang dan mempunyai area 25% lebih besar. Royal Commisiion mendukung dan rakyatpun menyambutnya dengan positif.

Perkembangan Desain dan Arsitektur Modern

Oleh, Erick Rinaldo, 0706269092

Judul : Pioneer of Modern Design
Pengarang : Nikolaus Pevsner

Berdasarkan buku Pioneer of Modern Design, dikemukakan bahwa sepanjang akhir abad 17 sampai sebelum perang dunia 1 terdapat beberapa gagasan besar tentang hakekat seni. Permasalahan tentang hakekat seni tersebut muncul sejak dimulainya revolusi industri di Inggris. Schiller adalah tokoh yang membangun filosofi bahwa pekerja seni adalah orang yang agung setelah sebelumnya pekerja seni dianggap sebagai pekerjaan rendah dan tidak bermartabat. Dikatakan sebagai kalangan yang agung (high prices) membuat para pekerja seni pada saat itu mulai mengabaikan utilitas dan hakikat seni itu sebagai sebuah hal yang dinikmati masyarakat.

Kemudian Moris juga berpendapat bahwa seniman telah jauh dari kehidupan nyata, dan telah menjauhkan seni dari hal yang seharusnya yaitu seni adalah berbagi, dan dapat dinikmati orang lain(by people, for people). Dia juga mengemukakan bahwa seni yang sebenarnya itu adalah hasil buatan tangan para seniman, bukan buatan mesin dan lainnya.

Dalam perkembangannya kemudian muncullah beberapa orang arsitek yang mengemukakan ketidaksetujuannya terhadap apa yang digagas oleh moris, diantaranya Otto Wagner, Adolf Loos, Lovise Sullevan, Frank Llyoid Wright,dan Hendry Van De Velde. Mereka mengatakan bahwa pengguaan mesin dalam menciptakan karya seni adalah hal yang wajar, karena seni merupakan sebuah ekspresi. Dalam perkembangannya, memang karya seni buatan mesin lebih disukai karena karena harga yang lebih murah.
Kemudian muncullah Muthesius yang membawa isu dengan menggabungkan pemikiran Moris dan Schiller. Dalam membuat karya seni kita harus mencintai seluruh sumber daya yang digunakan dan teknik yang digunakan bentuk baru yang berguna dalam memperkaya khasanah seni dunia. Dia juga mengatakan bahwa seorang seniman harus mampu menjadi scientist, humanist, dan craftsman.

Berangkat dari ketidakpuasan masa lampau, membuat terbangunnya kerangka pemikiran masyarakat Inggris 1850. Barang-barang yang sebelumnya dibuat dengan tangan seperti karpet, shal, dan kerajinan perak, sekarang dibuat dengan mesin. Dan itu mulai menumbuhkan perasaan negatif terhadap produk buatan mesin dengan alasan tidak original dsb. Namun kemudian Mathew Digby Wyatt mengeluarkan pendapat tentang nilai yang harus ada dalam setiap produk seni buatan mesin. Diantaranya : karakter desain yang sempurna dan stabil kualitas yang senatiasa harus terjaga, serta memahami warna murni.

Ketidakpuasan Moris juga disampaikannya terhadap seniman terdahulu yang hanya mengejar keindahan fisik (outside) namun tidak memikirkan bagaimana di dalamnya, perasaan dan emosi yang terbentuk. Hal ini mendasari lahirnya teori Impresionalisme yang memasukkan unsur perasaan yang mendalam terhadap karya seni. Aliran ini kemudian berkembang sejalan dengan arsitek dan seniman yang mendukungnya diantaranya Van Gogh.
Sepanjang 1890-1905 muncullah Art Nouveau yang merujuk pada New Art atau seni yang baru, dimana ini merupakan transisi antara aliran historicism atau era victorian ke era modern movement yang bergaya rokoko, elegan, french art. Aliran yang bebas tidak mengikuti doktrin dn memiliki modifikasi ini diaplikasikan pada tekstil, arsitektur, interior, dekoratif art, serta perhiasan. Aliran ini dicirikan dengan hal-hal organik, garis-garis, gelombang, tumbuhan, langsing-langsing, flowing, lengkung, lapisan dll. Dalam perkembangannya kemudian Art Nouveau sering dibandingkan dengan art and craft movement.

Perkembangan penggunaan material bangunan juga terus terjadi. Pada awalnya material kayu sangan berkembang karena lebih mudah didapatkan. Tuntutan yang terus berkembang mendorong ditemukannya besi dan aplikasinya pada jembatan pada tahun 1700. Pada tahun 1800an besi semakin berkembang dengan digunakannya pada jembatan london, besi juga sudah bisa dibuat semakin estetis. Tahun 1889, dibangunlah menara eiffel oleh Gustav Eiffel dengan material besi. Kemudian bangunan ini menjadi pemicu dibangunnya gedung pencakar langit yang kemudian berkembang dengan ditemukannya beton. Akhirnya di abad 20, berkembanglah gabungan dari architecture engineering, bahan sintetis, moris movement, dan Art Nouveau.

Sepanjang tahun 1914 ke belakang telah terjadi relasi antara terjadinya revolusi industri dengan perkembangan seni dan arsitektur khususnya di negara Prancis, Inggris, Amerika dan Austria. Dikenalnya peradaban mesin kemudian menuntut adanya keinginan peyetaraan antar barang seni luaran mesin dengan buatan tangan. Art Nouveau yang pada mulanya pada seni kriya serta hanya mementingkan estetika kemudian berkembang dan beralih ke penggunaan mesin serta mulai memikirkan fungsional dari karya seni.

Dari segi tata kota, dengan dibangunnya pabrik, sekolah, perumahan, perkantoran mendorong dibangunnya jalan sebagai sarana distribusi dan sirkulasi di wilayah tersebut. Akibatnya, di jalan tersebut mulai ramai oleh baliho dan reklame yang membuat berkembangnya komersialisme. Sekolah dibangun di dekat pabrik-pabrik agar dapat memudahkan melakukan kerja praktek. Untuk membangun kesadaran pribadi masyarakat, maka pembangunan gereka dan pengadilan dikurangi, agar terbetuk kesadaran pribadi masyarakat itu sendiri. Kemudian bermunculan pulalah arsitek diantaranya Tony Garnier yang telah mulai membedakan ruang berdasarkan fungsinya yaitu ; rekreasi, industri, kerja dan transportasi. Antonio Perret mulai membangun suatu bangunan dengan memasukkan perasaan agar dapat memahami ruang seutuhnya, partisi non struktural dihapuskan sehingga tercipta space luas(open space)

Begitulah rekaman sejarah mencatatkan perkembangan desain dan arsitektur modern. Kita yang hidup pada zaman ini harus paham apa yang menjadi perkembangan arsitektur dewasa ini. Belajar dari hal-hal yang lalu untuk berekspresi secara bebas dan penuh di masa sekarang. Sehingga khasanah arsitektur modern bisa terus berkembang dan memberikan sumbangsih yang besar terhadap perkembangan seni, desain dan arsitektur dunia.






dihimpun dari berbagai sumber

Perkembangan Arsitektur Modern dan Industrial pada Awal Abad 19

Oleh, Erick Rinaldo, 0706269092

Berbicara tentang arsitektur modern dapat didefinisikan sebagai totalitas daya, upaya dan karya dalam bidang arsitektur yg dihasilkan dari alam pemikiran modern yang dicirikan dengan sikap mental yang selalu menyisipkan hal-hal baru, progresif, dan kontemporer sebagai pengganti dari tradisi dan segala bentuk pranatanya. Pemikiran modern tersebut kemudian didukung oleh adanya perubahan yang selaras dalam perkembangan teknologi, politik, sosial, ekonomi yang pesat.

Perubahan yang selaras dalam perkembangan kehidupan pada awal abad 19 (Jaman modernisasi) ini ditandai dengan semakin pesatnya kemajuan teknologi, industrialisasi, urbanisasi dan juga meningkatnya komplektisitas sistem sosial ekonomi. Mengkaji dari sejarahnya modernisasi tepatnya timbul ketika berkembangnya revolusi industri pada tahun 1863-1960 di Inggris.

Revolusi Industri di Inggris yang terjadi dengan sangat cepat dan dinamis kemudian juga berimbas terhadap dinamika ranah arsitektur di Eropa bahkan menyebar hingga ke seluruh belahan dunia. Perubahan ini dapat kita lihat melalui sistem konstruksi dan struktur bangunan (ditemukannya material baja, beton, dan kaca), perubahan pada perkembangan kota, dan perubahan dalam kebudayaan. Penemuan berbagai material baru mendorong para arsitek untuk terus melakukan pembaharuan yang memperkaya ranah arsitektur itu sendiri. Sehingga cenderung meninggalkan gaya arsitektur lama karena adanya hasrat untuk menemukan hal-hal baru tanpa harus bertentangan dengan idealisme yang biasa dipakai.

Perkembangan kota ditandai dengan banyaknya dibangun fasilitas umum (misalnya stasiun kereta api, kantor, hotel, tempat hiburan, dan lain sebagainya), mulai adanya bangunan bertingkat banyak karena tingginya tingkat kebutuhan sarana dan prasarana masyarakat urban.

Gaya neo clasic semakin memudar dan perkembangan menuju ke arah ‘Form follow function’ ; menjadi pertanda lahirnya pemikiran baru pada bidang kebudayaan dan seni bangunan. Adanya industrialisasi yang mendominasi kehidupan pada saat itu mengakibatkan kondisi arsitektur modern dipenuhi dengan ambisi, ketegangan, hilangnya referensi lama, dan juga ketergeseran akan nilai kemanusiaan. Arsitektur modern terus berkembang sejalan dengan perkembangan iptek, dan merembet sampai mempengaruhi seluruh dunia.

Dalam perkembangan arsitektur modern tak terlepas dari pemikiran arsitek serta organisasi seni yang terkenal pada zamannya. Beberapa yang cukup terkenal diantaranya :

Art and Craft movement (Inggris), tokohnya ialah John Ruskin dan William Morris yang menentang akan industrialisasi. Pada gerakan ini, mesin dianggap menghantui seni dari pertukangan karena barang yang dikerjakan mesin sudah menjadi standarisasi sendiri. Gerakan ini ingin sesuatu yang memiliki kesan seni pertukangan yang merupakan suatu seni yang murni dan kejujuran dari penggunaan material yang ada.

Chicago school (Amerika), tokohnya yang ternama ialah Luis Sullivan dan Frank Lyod wright. Pada gerakan ini terutama Luis sullivan dengan slogannya ‘Form follow Function’, disini Ia membahas mengenai tampilan wajah bangunan mempengaruhi kegunaan bangunan tersebut. Sedangkan Frank mengemukakan akan bangunan adalah suatu ‘Organic architecture’, karena sesuai dengan keadaan Amerika pada saat itu.

Art Noveau dan Structural rasionalism (Eropa), pada aliran art noveau lebih dipentingkan akan masalah seni, sedangkan pada aliran struktur rasionalism didasarkan pada masalah kejujuran dalam arsitektur. Lagam Art noveau sangat dikenal karena setiap elemen seninya selalu menunjukan sesuatu yang bergerak dan meliuk-liuk. Kalau dalam struktur rasionalism, konstruksi bangunan ditonjolkan asal konstruksi tersebut benar dan menjadi suatu keindahan struktur.
Bauhouse (Eropa setelah perang dunia I), tokohnya yang terkenal ialah Walfter Grophius. Bauhouse ini mencoba mengabungkan akan masalah Arsitek, seniman dan pertukangan. Tujuan bauhose ini ialah menciptakan suatu kehidupan yang baru dengan style yang baru pula, jadi pada lagam ini aspek seni dalam sejarah ditinggalkan dan berusaha menciptakan suatu seni yang baru.

Arsitektur modern bukanlah sebuah hal yang sulit diterima dalam ajang perkembangan kebudayaan didunia. Faham modernisme ini justru lebih luwes dalam memasuki kebudayaan didunia, karena bersifat ortodox (mandiri) dan rasionalisme sehingga mudah diterima oleh orang banyak, dapat memenuhi tuntutan pada negara-negara yang sedang berkembang dalam hal pembentukan perkotaan, penggunaan material fabrikasi yang semakin efisien.. Sebuah keberhasilan dalam ilmu dan seni yang dicerminkan dari jaman modern ini merupakan hasil representatif untuk memperkenalkan sebuah pandangan baru yang muncul akibat perubahan dalam berbagai bidang dalam masyarakat.







dihimpun dari berbagai sumber

Frank Lloyd Wright dan Semangat Naturalis

Oleh ERICK RINALDO


Frank Lloyd Wright(1867-1959), dikenal karena keberadaannya sebagai arsitek yang mendunia akibat pengaruhnya yang sangat besar terhadap ranah arsitektur dunia. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari keberadaan karyanya yang hampir tersebar di 37 negara/ lokasi, diantaranya di Irak, Jepang, Kanada, Mesir, Inggris selain di Amerika sendiri tentunya. Karena keproduktifannya itulah kemudian dia dikenal sebagai arsitek sepanjang masa, dimana dunia kariernya ternyata melebihi dari umurnya ketika berprofesi sebagai arsitek. Selain itu, kemampuannya yang banyak dan beragam membuatnya juga menjadi arsitek yang lengkap, dimana menguasai berbagai kecakapan, seperti praktisi pembangunan, desainer interior, akademisi arsitektur, ilmuwan, menulis buku terutama berkaitan dengan arsitektur, serta melatih arsitek menjadi handal dan penuh kompetensi.

Perkembangan kariernya dimulai ketika ia berkuliah di University of Wisconsin di Madison jurusan teknik sipil, kemudian bekerja di firma arsitektur. Pada 1887, Wright menjadi drafter di perusahaan Louis Sullivan dan Dankmar Adler yang sedang merancang Chicago’s Auditorium Buliding. Jabatannya berkembang menjadi kepala drafter kemudian menjadi kepala desain rumah. Saat bekerja disini dia mulai mengembangkan gagasan arsitekturnya, dengan mendesain rumah sesuai seleranya. Keadaan ini membuat posisinya terancam dan dipecat. Akan tetapi dari sana dia belajar banyak hal, yaitu bisa mengembangkan gagasan baru yang ternyata bermanfaat besar terhadap pengembangkan prinsipnya seperti naungan garis atap, keunggulan perapian pusat, serta pembongkaran kotak pada denah lantai (open plan). Ternyata gagasan yang ada tersebut kebanyakan terinspirasi dari alam. Dengan menyulap ruang-ruang menjadi tanpa batas membuat perasaan lega seperti berada di padang rumput yang luas.

Pada tahun 1893 di studio yang dibangun di atas rumahnya di Oak Park, Chicago, Wright membangun firmanya sendiri. Dalam kurun waktu 1893 sampai 1901 dia menciptakan 49 desain karya yang juga berhasil diwujudkan dalam bangunan yang mengembangkan konsep "Prairie House"dimana terdapat rumah-rumah dengan konsep padang rumput, dengan rumah horizontal beratap rendah dan seakan menjalar di atas tanah. Masa awal produktif Wright ini dicatat sebagai bagian dari sejarah gerakan seni dan kriya. Selama perjalanan hidupnya kariernya dia telah berhasil menghasilkan karya yang mebawa pengaruh besar terhadap dunia arsitektur seperti dengan lahirnya konsep prairie dan usonian serta arsitektur organik yang menggabungkan antara bentuk dan ruang . Ruang menjadi pusat pemikiran Wright sejak awal perancangan, dipandang sebagai media dari berbagai intensitas kegiatan, mempunyai karakter psikologis, nilai dan bertujuan mengangkat harkat aktivitas manusia. Karya-karya Wright mengikuti prinsip, bahwa bentuk baru berarti jika punya kejelasan prinsip.

Prinsip Wright, arsitektur merupakan penghubung antara manusia dengan lingkungannya. Dalam ceramah terakhir di London, Wright berkata, “.. ketahanan karya arsitektural, tergantung sifat dasar manusia dan keadaannya dimana keduanya berubah”. Arsitektur organik Wright adalah awal radikalisme terhadap arsitektur tradisional pada masanya, yang didominasi gaya Eropa. Museum Guggenheim merupakan demonstrasi Wright dalam menerapkan konsep arsitektur organik. Gedung itu terlihat tumbuh berkembang dan menjadi bunga beton raksasa di sekitar gedung pencakar langit. Prinsipnya: form and function are one. Prinsip yang merupakan "pelesetan" dari form follow function yang dicetuskan mantan bosnya, Louis Sullivan. Wright mampu menerjemahkan dengan sempurna konsep itu dalam desainnya. Di antara para arsitek, ia disebut "organik jenius".

Arsitektur menurut Wright adalah semangat kreativitas hidup yang besar, yang
berlangsung dari generasi ke generasi, dari umur ke umur, berlangsung lama, mengikuti kehendak alam dan manusia serta pengaruhnya saat mereka berubah. Dari berbagai karya Wright, rumah Fallingwater yang didesain tahun 1936-lah menjadi suatu desain yang paling populer karena mempunyai relevansi yang jelas dan sangat terasa dengan konsep arsitektur organiknya. Bagian paling fenomenal dari rumah itu adalah ruang keluarga yang menjorok dan melayang di puncak air terjun. Suara gemercik air yang berasal dari aliran air sungai di bukit Bear Run senantiasa jadi musik alami yang terdengar di seluruh penjuru rumah. Bangunan yang kemudian terkenal dengan nama "Falling Water" itu dianggap sebagai adikarya Wright.

Taliesin adalah nama daerah di Amerika, kemudian menjadi tempat dimana Wright membangun rumah yang dikenal dengan Taliesin House. Di rumah ini terjadi berbagai skandal, dan tragedi yang kemudian memicu lahirnya ide-ide cemerlang wright tentang arsitektur. Tahun 1932, ia mendirikan The Taliesin Fellowship, sekolah arsitekturnya sendiri, di Spring Green, Wisconsin. Sekolah itu terbuka hanya untuk 30 siswa dan dengan biaya US$ 1.100. Komunitas unik ini magang dan belajar dibawah bimbingan Wright. Dengan bantuan para magang yang membantu dalam detail desain dan supervisi tapak ini, hasil pekerjaan Wright menjadi lebih banyak dan terorganisir. Wright juga menghasilkan buku, An Autobiography dan The Disappearing City.
Pada 4 April 1959, Wright melakukan operasi usus buntu. Lima hari kemudian, di usianya yang ke-92, Wright mengembuskan napasnya yang terakhir di Phoenix, Arizona. Ia tak sempat menyelesaikan proyek Guggenheim Museum.

kritik foto : Mendung di Dermaga; Arbain Rambey



Spesifikasi fotografi
Kamera : Nikon D 50 Kecepatan : 1/60
Film : Digital ISO 200 Diafragma : F/56
Lensa : Nikon 17-35 mm F/28 Filter : Harlim Vs

Dalam melakukan kritik foto hal yang paling penting dilakukan terlebih dahulu adalah kita harus memahami tema yang ingin diangkat oleh sang fotografernya. Pada foto “ Mendung di Dermaga” hasil bidikan fotografer Arbain Rambey ini, terlihat bahwa ia ingin mengangkat dan mengeksplorasi keindahan alam nusantara. Pada foto ini dominan terlihat pemandangan pantai dan sebuah dermaga kecil di sisi kanannya. Suasana dermaga adalah pemandangan lazim yang dapat kita lihat di daerah pantai. Dimana biasanya banyak perahu – perahu nelayan yang berlabuh disana.

Namun, pada foto ini tampak Arbain ingin menampilkan potret dermaga dari sisi lain. Dia ingin menampilkan sisi kesunyian dan suasana dermaga yang sepi tanpa ada orang, nelayan, atau bahkan perahu disekitar dermaga tersebut. Objek lautnya pun tampak begitu tenang sehingga menampilkan kesan gambar yang sederhana dan sunyi pada foto tersebut. Dermaga memang salah satu objek foto yang sangat menarik. Apalagi dermaga tua yang masih terbuat dari kayu. Sungguh memberikan suatu nilai artistik yang khas. Dari dermaga tersebut, kita juga dapat melihat jauh ke seberang lautan. Terdapat sebuah tepian pulau yang tampak menghijau dengan warna yang tidak terlalu mencolok namun tetap memberikan kesan indah.

Selain itu, moment pengambilan foto ini sangat mendukung tema kesunyian yang ingin ditampilkan oleh Arbain. Moment dimana langit sedang mendung seperti akan turun hujan, air laut tampak tenang, begitupun dengan keadaan dermaga yang sepi tanpa ada orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya serta bayangan-bayangan yang terbentuk pada permukaan air laut juga merefleksikan kesan dramatis dari foto tersebut.
Kesan artistik dari foto ini juga dapat ditangkap dari komposisi foto yang menarik.

Pengaturan garis-garis dan bentuk ke dalam pola yang harmonis, memberikan keseimbangan pada pembagian gelap dan terang dalam keseimbangan grafis serta menciptakan batas-batas tepi secara alami atau tidak mencolok mata. Foto ini juga menampilkan kesederhanaan objek yang lebih memudahkan dalam menyusun komposisi. Semakin sederhana gambar akan semakin kuat kesan yang dihasilkan. Sehingga dengan kesederhanaan objek ini tidak akan mengacaukan center of interest dan perhatian pengamat. Kesederhanaan dapat pula diterapkan pada pemilihan latar belakang. Tentu saja latar belakang yang “riuh” justru dapat lebih menyita pandangan daripada subjek foto.

Permainan warna pun tidak luput dari adanya pengaruh terhadap pengaturan komposisi dan hal ini menyangkut komposisi warna. Dengan menerapkan prinsip kesederhanaan dalam warna seperti pada foto Arbain ini, justru akan lebih memperkuat foto daripada kaya akan warna tapi tersaji dalam kesimpangsiuran tanpa arti sebagai pendukung komposisi.

Memang bukan hal yang mudah untuk dapat menghasilkan foto yang indah. Namun, dengan sedikit kesederhanaan dalam karya akan menampilkan suatu hal yang jauh lebih indah dan bermakna kuat.

Jumat, Juli 24, 2009

Arsitektur Gaya IndoEropa di Indonesia

Oleh Erick Rinaldo

Menilik keberadaan gaya IndoEuropean pada arsitektur Indonesia tak terlepas dari korelasinya dengan arsitektur nusantara disaat keberadaan kolonial Belanda di Indonesia. Pada dasarnya gaya IndoEuropean yang muncul sekitar 1920-30an di Hindia Belanda (indonesia sekarang) merupakan bangunan yang secara fisiknya merupakan penggabungan dari unsur-unsur tradisional arsitektur nusantara dengan sentuhan arsitektur modern yang pada saat itu dibawa oleh pemerintahan kolonial Belanda. Akan tetapi terdapat penyesuaian pada unsur-unsurnya dikarenakan faktor iklim, bahan bangunan, serta teknologi yang dipakai pada zaman tersebut.

Sebagai contoh bangunan bergaya IndoEropa adalah Gedung Technisch Hogeschool Bandung(1919) yang dirancang oleh Henri Maclaine Pont ( ITB sekarang). Lahirnya gaya ini, merupakan sebuah usaha pencarian gaya baru, yang mencitrakan hubungan yang harmonis antara gaya barat dan ketimuran di Indonesia.
Keberadaan gaya IndoEropa pada gedung ITB ini, tak lepas juga dari keberadaan geografis bangunannya yang berada di Pulau Jawa.

Dimana secara geografis pulau ini mempunyai posisi yang khas, dimana mendapat berbagai pengaruh baik dari kebudayaan hindu, budha, cina, islam dan barat. Sehingga, keberadaan arsitektur IndoEropa itu sendiri, termasuk gedung ITB sebagai contoh karya arsitekturnya mendapat pengaruh dari berbagai transformasi kebudayaan tersebut. Akan tetapi, transformasinya bukan cenderung merusak budaya atau gaya arsitektur khas yang telah ada. Namun mempertahankan dengan sedikit menambah dan memperkaya keberadaan unsur-unsur utama yang telah ada pada bangunan tersebut. Jadi pada bangunan ITB bisa disebut sebagai proses transformasi gaya arsitektural yang konformatif (cocok) bukan malah bertentangan.

Seperti yang terlihat pada gambar terlihat bahwa terdapat unsur dominan yang utama yaitu penggunaan atap-atap yang menggunakan gaya arsitektur sunda. Akan tetapi unsur utama tersebut kemudian tidak terlepas juga dengan adanya sedikit sentuhan eropa dengan penggunaan material beton sebagai dindingnya serta berbagai teknologi bangunannya yang mengadopsi cara eropa khusunya belanda. Dari sini kita bisa mengetahui bahwa pada gaya IndoEropa khususnya di bangunan ITB ini, gaya tradisional dan modern barat ternyata saling bersinergis membentuk suatu kesatuan yang mempunyai konformitas. Sehingga menghasilkan gaya yang baru pada perkembangan arsitektur di Indonesia.






Sumber : Jurnal Ilmiah DIMENSI ARSITEKTUR VOL.26-DESEMBER 1998

Sabtu, Juli 11, 2009

Ruang Publik dan Tata Kota Kebayoran Baru Kota Taman Kebayoran Baru ; Lunturnya Identitas Masa Lalu

Oleh Erick Rinaldo


Jakarta kian hari terasa semakin gerah dan sesak. Kita seperti terbelenggu dalam sebuah kotak besi yang sempit dan padat, kemudian berpijak di atas nyala api unggun yang panas dan membara. Sebuah analogi yang sekiranya bisa mengungkapkan tentang keberadaan Ibukota yang sudah semakin sempit dan sesak oleh serbuan orang-orang yang hidup dan mencari makan disana. Ada yang tinggal di balik kemewahan rumah bergaya klasik di kawasan elit Jakarta, namun ironisnya lebih banyak lagi yang tinggal di gubuk ringkih berdinding kardus di bawah kolong jembatan. Inilah realita Jakarta saat ini. Kepadatan kota, tak saja memicu terjadinya kesenjangan sosial seperti yang dijelaskan di atas. Implikasinya juga mempengaruhi eksistensi lingkungan. Kebutuhan akan tersedianya lahan terbangun yang sangat tinggi akhirnya harus mengorbankan ruang terbuka hijau yang seyogyanya menjadi ruang publik dan paru-paru kota.

Perjalanan untuk mencari sedikit ruang hijau di tengah tandusnya Ibukota dimulai dari kawasan Bulungan Jakarta Selatan. Ternyata, bayangan akan Jakarta yang hiruk pikuk dengan lalu lintas kendaraan silih berganti dan kota yang kehilangan ruang hijau seakan terhapus sedikit demi sedikit. Setiap menelusuri sebuah jalan dan berbelok dan memutar, pasti akan melihat keberadaan pohon besar berumur puluhan tahun di sisi kiri kanan jalan, begitu pula dengan lahan hijau yang cukup asri, ada yang terawat dengan baik namun tak sedikit pula yang terbengkalai. Terlepas dari keadaannya yang terawat atau tidak, mengundang pemikiran saya untuk mengetahui bagaimana kawasan Kebayoran Baru itu dirancang dan direncanakan oleh perancang tata kotanya di masa lalu.

Kebayoran Baru di Masa Lalu


"Kesan pertama, apabila kita melawat dengan pesawat terbang dari
Ibukota Indonesia ke arah Selatan-Baratdaja, maka nampak oleh kita
suatu dataran indah Kotabaru Kebajoran dengan kelompokan pentju-
pentju atap perumahan serta gedung-gedung jang teratur rapi dan
lintasan djaring-djaring djalanan yang indah menghias. Kesemuanja ini
bagaikan djauhar manikam berkilau mesra di tengah luas padang hidjau dari wilajah Djakarta Raja".


Dikutip dari bagian "Pengantar Kata" buku Pembangunan Kotabaru Kebajoran. Terbitan Kementerian Pekerdjaan Umum dan Tenaga Republik Indonesia (1953)



Sejarah Kebayoran Baru dimulai pada tahun 1948 setelah Jakarta tepatnya di sekitar Weltevreden (sekarang Gambir) mengalami masalah kekurangan infrastruktur perumahan sebanyak 25.000 unit. Setidaknya pada 1952 diperkirakan sekitar 2,5 juta jiwa akan bermukim di Jakarta.
Kebutuhan akan lahan hunian yang lebih luas ini ditanggapi oleh Centrale Huisvestingsraad (Dewan Perumahan Pusat) pada 21 September 1948, dengan memilih daerah seluas 730 hektar di sebelah selatan Jakarta, sebelah timur desa Kebajoran sebagai tempat dibangunnya kota baru penyangga Jakarta masa itu. Kelebihan daerah ini adalah pada masa itu masih lengang, namun mempunyai infrastruktur yang cukup baik. Rencana pembangunan dan rancangan kota disusun oleh praktijk ingenieur H. Moh Soesilo dari Centrale Planologisch Bureau. Peletakan batu pertama pada 8 Maret 1949 dan dirmapungkan enam tahun kemudian, tahun 1955.

Kota Satelit Kebajoran, itulah nama yang kemudian melekat dan menjadi identitas kawasan tersebut. Terlepas dari ketidaktepatan penggunaan kata “Satelit” terhadap kawasan yang hanya berjarak 8 km dari kota pusat tersebut, akan tetapi esensi dari kota Kebayoran Baru adalah pengembangan tata kota berbasis taman. Pengembangan Kebajoran Baru sebagai kota taman memenuhi konsep kota taman seperti yang pernah dicetuskan oleh Ebenezer Howard dalam bukunya, The City of Tomorrow (1902). Dimana pengembangan kota berlandaskan pada tiga prinsip utama yaitu pemerintah sebagai pemilik dan pengendali lahan; kecermatan dalam desain tata kota; serta pertumbuhan fisik kota yang dibatasi oleh jalur hijau yang permanen. Kebayoran Baru Jalur utamanya membelah dari utara ke selatan (Jalan Sisingamangaraja, Panglima Polim, dan Iskandarsyah) dan membujur dari timur ke barat (Jalan Wolter Monginsidi, Trunojoyo, dan Kyai Maja). Melingkar sepanjang Jalan Senopati, Suryo, Wijaya, Prapanca, sampai Blok A. Dari Blok A tersambung dengan Jalan Gandaria, Paku Buwono, Hang Tuah, dan bertemu kembali dengan ujung Jalan Senopati dan Jalan Sudirman di Bunderan Senayan.

Pengembangan kawasan Kebayoran Baru menjadi kota taman telah disesuaikan dengan iklim tropis Indonesia. Selain itu, peruntukan lahan dan ketegasan pembagian jalan berdasarkan tingkatan dan ukurannyanya membuat kawasan Kebayoran Baru memiliki karakter yang kuat dibandingkan kawasan lainnya di sekitar Ibukota. Oleh karena eksistensinya sebagai kota taman, tak kurang dari 40 persen dari luas Kebayoran Baru merupakan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Walaupun nyatanya pada masa sekarang ini angka tersebut mungkin sudah mengalami penyusutan yang cukup berarti. Tidak hanya penyusutan secara kuantitasnya saja, akan tetapi penyusutan dari segi kualitas, baik penataan maupun perawatan dari pemerintah maupun publik.

Photobucket


Taman Kota sebagai Ruang Publik

Pengembangan kota berbasis taman, berimplikasi terhadap keberadaan taman itu sendiri sebagai ruang publik dengan konsep taman-taman penghubung yang tersebar sistematis, terencana, dan saling berhubungan tak terputus disesuaikan dengan peruntukan hunian. Dimana masyarakat bisa berkegiatan dan melakukan berbagai kegiatan disana. Adapun ruang publik di kawasan Kebayoran Baru yaitu Taman kota (Taman Ayudia, Taman Puring, Taman Patung Tumbuh Kembang, Taman Langsat, Taman Leuser, Taman Barito, Taman Christina Marta-Tiahahu, Taman PKK), taman pemakaman umum (TPU Blok P yang sudah digusur, TPU Kramat Pela), lapangan olahraga (Blok S yang bersejarah, Al Azhar), jalur hijau jalan raya, dan bantaran sungai saling menyatu dengan didominasi deretan pohon besar berusia puluhan tahun.

Sistem RTH itu terstruktur dengan fungsinya masing-masing, yakni taman/kebun rumah, taman lingkungan,
taman kota, lapangan olahraga, dan taman makam. Juga ada daerah tangkapan air seperti situ atau danau. Jalur untuk pedestrian dirancang demi kenyamanan. Begitu juga kawasan pengolahan limbah dan tempat pengolahan sampah. Kekayaan arsitektur seperti beraneka ragam rumah dengan ukuran dan gaya yang khas, berbagai bangunan ibadah seperti : Masjid Al Azhar, Masjid At Taqwa, , Gereja Pantekosta, Gereja Santo Yohanes, Gereja Santa Perawan Maria serta tak ketinggalan kediaman (alm) Ibu Fatmawati di Jl Sriwijaya 26 yang sangat bersejarah terdapat dsini. Serta berbagai pusat-pusat perniagaan, seperti Pasar (tradisional) Santa, Pasar Blok A dengan menara airnya yang menjadi landmark, Pasar Mayestik, dan Blok M, serta kios-kios bunga, buah, dan burung yang berada di sekitar Jl Barito. Memang bukan hal yang mudah untuk tetap mempertahankan dan merawat kekayaan masa lalu tersebut, tapi merupakan kewajiban untuk terus melestarikannya.

Saat ini, berbagai penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukkan sebenarnya membuat kawasan Kebayoran Baru seperti mulai kehilangan identitas dan karakteristik. Keberadaan arsitektur yang ada di kawasan ini sebenarnya turut memberikan sejarah terhadap perkebangan dan eksistensi kota taman ini. Kapling yang dulu berderet dari Blok A sampai Blok S dan saling terhubung dengan taman tamannya sekarang sudah diisi dengan bangunan baru yang seakan menghilangkan keserasian arsitektur disana. Padahal karakteristik tata kota dan arsitektur Kebayoran Baru merupakan sebuah warisan kekayaan dari perkembangan arsitektur di Indonesia khususnya Jakarta.

Taman Langsat, Tak Terawat

Taman Langsat adalah satu dari puluhan taman yang sampai sekarang masih menjadi bagian dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kawasan Kebayoran Baru. Taman dengan luas sekitar 13.000 m2 (terbesar) ini dihuni oleh ratusan pepohonan besar dari berbagai jenis yang memberikan penghawaan alami di tengah teriknya Ibukota. Keberadaan taman ini pun juga seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai ruang publik tempat lahirnya interaksi warga maupun pengunjung yang datang ke sana sekedar untuk melepas lelah dari kepenatan rutinitasnya.



Ironisnya, taman yang di dalamnya juga mengalir sebuah sungai kecil bernama Sungai Jelawe ini sekarang tampak sudah tak terawat dengan baik lagi. Sungguh kondisi yang sangat berlawanan dengan keberadaan Taman Ayodya yang baru diresmikan beberapa bulan lalu. Air sungai yang sangat kotor dan bau, banyaknya sampah yang bertebaran, tanaman yang sudah mulai menyemak membuat orang tak terlalu betah berada di taman ini. Hampir tak ada orang yang berlalu lalang di sekitar taman tersebut ketika kami datang mengunjungi taman tersebut. Sehingga fungi taman hanya hadir sebagai fungsi ekologis (daerah hijau dan resapan), sedangkan fungsi sosialnya mulai menghilang.

Pemerintah seharusnya bisa lebih cepat menanggapi keberadaan Taman Langsat ini sebagai sebuah ruang publik yang sebenarnya menjadi bagian dari Identitas Kebayoran Baru sebagai kota Taman. Paling tidak, pemerintah harus melakukan perbaikan kualitas taman ini sehingga masih layak dijadikan sebagai ruang publik. Sebagai salah satu dari beberapa taman yang masih tersisa di Kebayoran Baru, jangan sampai keberadaan taman yang kurang terawat ini menjadikan alasan bagi para pebisnis negeri ini untuk menyulap ruang publik yang memiliki fungsi ekologis ini menjadi fungsi ekonomis dengan mentransformasikannya menjadi bangunan komersil . Banyaknya taman yang dialihfungsikan, atau dikurangi jumlahnya hanya akan mengurangi dan merusak citra Kebayoran Baru sebagai kota taman yang teah dirintis oleh pendahulu kita dulu.

Hal yang paling penting dilakukan sekarang adalah mempertahankan citra Kebayoran baru sebagai kota taman. Masih ada waktu untuk terus membenahi Taman Langsat dan mungkin taman taman lainnya sebagai bagian tak terpisahkan dari eksistensi kota Taman Kebayoran Baru. Sehingga kalimat dari kutipan buku Pengantar Pembangunan Kebayoran Baru tahun 1953 yaitu “ Kebayoran Baru bagaikan djauhar manikam berkilau mesra di tengah luas padang hidjau dari wilajah Djakarta Raja" adalah hal yang masih bisa kita rasakan saat ini dan hingga anak cucu kita kelak.


Sumber: Agus Hamonangan; mediacare.blogspot.com
Nirwono Joga, Kebayoran Baru Kota Taman Pertama Karya Arsitek Lokal ; Harian Kompas; , Jumat, 06 Agustus 2004
" Kata Pengantar " buku Pembangunan Kotabaru Kebajoran. Terbitan Kementerian Pekerdjaan Umum dan Tenaga Republik Indonesia (1953)

Mencari Arsitektur Indonesia

Menggelitik dan sarat makna adalah kesan pertama yang saya tangkap ketika melihat gambar dibawah ini. Pencitraan yang coba menampilkan sulitnya mencari arsitektur yang benar-benar Indonesia di tengah kegelapan dan hanya bermodalkan senter kecil seadanya. Seperti mencari sebatang jarum dalam tumpukan ijuk, rumit dan membingungkan. Inilah mungkin analogi yang tepat, di antara keragaman budaya dan kekayaan warisan bangsa Indonesia, dimana arsitektur adalah salah satu bagian di dalamnya justru kemudian memunculkan berbagai pertanyaan serta kesimpangsiuran dalam pendefinisian jati diri arsitektur Indonesia itu sendiri. Kesimpangsiuran tersebut berujung pada bermunculannya pertanyaan seperti benarkah arsitektur Indonesia itu ada dan hadir dalam perkembangan budaya bangsa ini ? Kalau ada, yang mana ? Apakah arsitektur tradisional yang tersebar di seluruh nusantara dari Sabang sampai Merauke, atau realitas arsitektur sekarang yang berjalan dan berproses dari masa lalu, sekarang hingga masa depan ?
Photobucket
Mencari pengertian dan objek dari arsitektur Indonesia itu sendiri adalah menarik benang merah dari kepribadian dan spirit yang terdapat dalam arsitektur yang ada di nusantara. Memang pendapat yang masih abstrak dan prematur ketika kita memvonis bahwa segala arsitektur yang dilakukan oleh orang Indonesia sebagai bagian Arsitektur Indonesia. Hal ini dikarenakan keberadaan arsitektur itu sendiri yang sebenarnya terkait dengan dimensi waktu yang terus berputar dari masa lalu, masa sekarang dan masa depan serta sense of place dari arsitektur itu sendiri. Selain itu, kekayaan khasanah arsitektur di seluruh nusantara memberikan keragaman pemikiran yang justru mempersulit dalam menentukan titik temu arsitektur Indonesia itu sendiri.

Keragaman opini dan pemikiran serta nilai, semangat dan kepribadian bangsa Indonesia dalam ranah arsitektur tersebut sebenarnya membuktikan bahwa sebenarnya arsitektur indonesia itu ada dan benar hadirnya. Arsitektur yang pastinya benar benar memiliki kekhasan dan bersifat unik dan di dalamnya tertuang nilai kepribadian bangsa serta spirit ke Indonesian-nya. Selain itu, keberadaannya dapat dilihat dari segi filosofis, substansial serta aspek teknis sehingga arsitektur Indonesia itu lahir. Jika kita ingin memperjelas pengertiannya, mungkin bisa disebutkan sebagai Arsitektur Khas Indonesia, dimana yang hal-hal substansial, filosofis serta teknisnya didasarkan atas karakter dan kepribadian Indonesia.

Ketika mendalami arsitektur sebagai bagian dari ranah keilmuan, kita senatiasa berkiblat pada karya besar bangsa Barat. Apakah kekayaan arsitektur kita tak cukup besar untuk diekspos dan digali secara mendalam. Sebenarnya jawaban itu ada pada diri kita. Arsitektur yang ada di Indonesia seringkali dianggap tidak memiliki kejelasan pandangan tertentu dalam desain dan penggubahan arsitektur karena tidak didasarkan pada prinsip yang rasional dan baku. Padahal sama saja sebenarnya dengan apa yang dilakukan pada arsitektur klasik di Eropa, yang tak lepas dari aturan komposisi, proporsi, kemegahan serta keindahan. Selain itu arsitektur Indonesia tak serta merta dilahirkan melalui proses naluriah dan kebiasaan semata. Melainkan melalui sebuah penghayatan dan penanaman nilai filosofis dan kosmologis dalam budaya kita yang membentuk komposisi, proporsi, serta nilai kemegahan dan keindahannya.

Arsitektur yang ada dan dimiliki bangsa kita bisa saja lebih besar dan tersohor daripada pemikiran barat yang telah mendominasi saat ini. Namun, pada kenyataannya kita tidak cukup kuat untuk mempertahankan keberadaannya. Kita cenderung tidak tahu mau dibawa kemana arsitektur kita itu sendiri. Hal ini dikarenakan keberadaan arsitektur khas Indonesia itu sendiri belum mengakar kuat dalam penjiwaan bangsa Indonesia sehingga begitu rentan mendapat terpaan dan sentuhan dari gaya arsitektur asing yang sebenarnya tidak mempunyai spirit serta sense of place terhadap arsitektur Indonesia itu sendiri. Hal ini justru berujung pada tempel menempel style dalam arsitektur. Klimaksnya berakibat pada kesembrawutan dalam khasanah arsitektur Indonesia di masa ini.

Hal itu tak dapat dipungiri, karena pengaruh keberadaan asing yang menjajah Indonesia selama beratus tahun. Itulah fakta yang kemudian malah mempersulit kita dalam mencari kebenaran dan kearifan dari arsitektur lokal khas Indonesia itu sendiri. Ketidakkuatan kita dalam menjaga, menghayati dan menerapkan kekayaan arsitektur kita justru menjerumuskan kita pada langgam arsitektur yang sebenarnya bukan milik dan kepribadian kita.

Photobucket
Pada masa sekarang banyak kita lihat rumah mewah, hotel dan sederetan mall besar Indonesia, yang tak bernuansa Indonesia sama sekali. Menempelkan gaya gaya klasik dengan deretan kolom kolom dorik dan ioniknya untuk kemudian mencitrakannya sebagai sebuah bangunan arsitektur yang mewah, bergengsi dan modern. Padahal, jauh dari pada itu, spirit dari arsitekturnya itu sendiri hilang, yang ada hanya tempelan dan kemegahan yang semu.

Alangkah baiknya, karya arsitektur Indonesia yang senantiasa memakai nama besar Indonesia, juga mencitrakan arsitektur khas Indonesia itu sendiri, walaupun tidak harus memasukkan unsur tradisional secara menyeluruh dan dipaksakan. Sehingga jika kita melihat dan mendengar nama plaza Indonesia, hotel Indonesia, bank Indonesia, grand Indonesia dan sebagainya, setidaknya dapat merepresentasikan arsitektur khas indonesia itu sendiri. Agar Indonesia tidak salah kaprah dalam style dan gaya arsitektur barat tertentu. Misalnya Wisma Nusantara yang dibangun, tidak memperlihatkan nilai ke-nusantaraannya sama sekali, melainkan gaya International style yang diekspos dengan jelas. Paradigma tentang arsitektur barat sebagai landasan dalam membangun arsitektur yang terbaik masih melekat jelas. Padahal jika kita gali secara mendalam dengan penghayatan nilai dan kearifan lokal arsitektur Indonesia, kita dapat memperkaya khasanah arsitektur kita sendiri. Ketimbang mencomot gaya gaya yang kita tidak tahu spirit maupun nilai filosofisnya apakah sesuai dengan tempat dimana dia direperesentasikan ulang atau tidak.

Seperti yang disampaikan Budi Sukada, ketika memberikan kuliah di Jurusan Arsitektur UI, bahwa kompleks bangunan UI bisa dijadikan contoh bagaimana memasukkan nilai tradisional Indonesia dalam kemasan modern yang dinamis. Hal yang seharusnya juga bisa dilakukan oleh arsitek besar bangsa ini tentunya. Sebuah contoh, keharmonisan antara tuntutan untuk tetap mengedepankan unsur Indonesia pada karya arsitektur, namun tetap dengan mengedepankan spirit zaman pada saat dia dibangun. Inilah seharusnya yang bisa dilakukan dan terus digali.

Kebenaran tentang arsitektur khas Indonesia akan dibuktikan dan berkembang melalui sejarah. Sejarah yang memiliki hubungan antara masa lalu, sekarang dan masa depan adalah hal yang harus terus bergulir. Pertentangan antara ide yang saling melawan dan menyatu akan memunculkan ide yang baru. Hasrat untuk menampilkan arsitektur modern di Indonesia serta kesadaran untuk menciptakan arsitektur yang tetap berkepribadian bangsa Indonesia sebisa mungkin tidak terus menerus dijadikan sebuah halangan dan pertentangan.

Adapun tugas kita sebagai arsitek, kemudian adalah untuk mencoba melahirkan terobosan baru dari dua hal tersebut menjadi suatu ide yang tidak saling berseberangan melainkan menjadi ide yang harmonis. Ide yang kemudian menghasilkan corak tertentu yang memuaskan kerinduan masyarakat akan arsitektur Indonesia yang sebenarnya namun tetap mengikuti realitas dan spirit zaman yang ada di masa sekarang . Sehingga kita bukanlah orang yang melupakan sejarah masa lalu, namun juga tidak dianggap sebagai orang yang tidak realistis terhadap fakta zaman yang bergulir. Memahami arsitektur bangsa kita, akan membuat kita bangga menjadi bagian dari bangsa yang besar ini.








Sumber :
Wiranto ; ARSITEKTUR VERNAKULAR INDONESIA : Perannya Dalam Pengembangan Jati Diri ;Staf Pengajar Fakultas Teknik, Jurusan Arsitektur - Universias Diponegoro

Antariksa; Wajah Indonesia yang Resah ; (Harian Seputar Indonesia 27 April 1985
Andi Karina Deapati Mahasiswa Aristektur Tingkat Akhir Universitas Indonesia; ( KOMPAS, 15 Februari 2009)
articles by astudio ; Mengapa arsitektur khas Indonesia pantas untuk diperjuangkan? 05 Jan 2007

.